Selama 75 tahun merdeka, Indonesia telah melakukan berbagai usaha untuk mewujudkan salah satu dari tujuannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Negara berkomitmen agar warganya dapat mengenyam pendidikan yang layak dan memenuhi kesejahteraan rakyat baik dari segi pangan, papan, dan sandang.
“Namun, dalam perjalanannya, negara masih memiliki pekerjaan rumah dalam mencapai tujuan tersebut. Kejadian stunting (balita pendek) merupakan permasalahan gizi utama di Indonesia. Stunting tidak hanya berpotensi memengaruhi kesehatan anak, akan tetapi juga tingkat kecerdasannya. Menurut data WHO, rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia pada 2005—2017 adalah 36,4%. Indonesia menjadi negara ketiga dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia Tenggara, ujar Dekan Fapet UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA., IPU., ASEAN. Eng ketika dihubungi Sabtu (15/8).
Dekan menambahkan, Presiden Jokowi dalam rapat terbatas “Percepatan Penurunan Stunting” pada 5 Agustus 2020 mengatakan, pada 2013 prevalensi stunting sebesar 37% menjadi 27,6% pada 2019. Namun, penurunan ini belum cukup, Presiden menargetkan prevalensi stunting pada 2024 menjadi 14%. Telur adalah salah satu dari produk peternakan yang memiliki potensi surplus produksi dibandingkan dengan daging dan susu. Pada 2018, produksi telur sebanyak 1.756.691 ton atau 101,5 persen dari kebutuhan nasional sebesar 1.730.550 ton (JPPN, 2019).
“Telur yang naturalnya dipersiapkan menjadi calon kehidupan baru ini mengandung gizi komplit. Dari aspek harga dan cara produksinya, telur juga lebih terjangkau oleh masyarakat dibanding daging dan susu. Apalagi, telur juga dapat dimodifikasi kandungan gizinya dengan melakukan rekayasa pada pakannya (telur herbal, telur fungsional, telur omega, dll). Oleh karena itu, kemerdekaan (baca swasembada) produksi telur nasional ini dapat dikapitalisasi untuk membawa negeri ini merdeka dari stunting. Gerakan Indonesia Bertelur (produksi telur & makan telur) di berbagai usia dan strata sosial masyarakat menjadi sarananya,” jelas Dekan.
Pemenuhan gizi bangsa berkaitan erat dengan peran bidang peternakan sebagai penyedia pangan protein hewani seperti susu, telur, dan daging. Badan Litbang Pertanian menyebutkan, hingga 2015, konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia mencapai 21,8 gram per hari, lebih tinggi dari yang tersedia, yaitu 18,23 gram. Kondisi ini menjadi peluang terciptanya berbagai lapangan pekerjaan di bidang peternakan. Berdasarkan survei angkatan kerja nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik Indonesia pada Agustus 2017, terdapat 3,84 tenaga kerja di sektor peternakan. Angka ini menyumbang sebesar 3,17 terhadap tenaga kerja nasional. Bidang peternakan merupakan prime mover ekononomi perdesaan karena masih dikelola secara tradisional oleh peternak di pedesaan dengan latar belakang pendidikan rendah. Menurut data statistik ketenagakerjaan sektor pertanian, pada Agustus 2019, penduduk yang bekerja di subsektor peternakan dengan latar belakang pendidikan dasar sebanyak 3,8 juta orang, pendidikan menengah 557 ribu orang, dan pendidikan tinggi 76 ribu orang.
“Dengan melihat kondisi tersebut, menjelang peringatan 75 tahun Indonesia merdeka, perlu peningkatan SDM unggul di bidang peternakan. Di era industri 4.0 saat ini, SDM yang unggul berkaitan erat dengan penguasaan teknologi. Lulusan peternakan diharapkan peka dan adaptif terhadap perkembangan teknologi sehingga mampu membawa kemajuan di bidang peternakan termasuk menciptakan lapangan kerja. Terlebih di masa pandemi Covid-19 terjadi perubahan yang sangat drastis yang memerlukan sarjana peternakan yang kompeten dan terampil,” kata Dekan.
Perguruan tinggi merupakan institusi yang berperan besar dalam mencetak SDM unggul di bidang peternakan. Saat ini, pembelajaran peternakan di perguruan tinggi dikaitkan dengan dunia industri berteknologi modern sebagai penghasil pangan berkualitas tinggi, misalnya telur, daging, dan susu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perguruan tinggi saat ini dituntut untuk bermitra dengan industri untuk mengejar gap antara dunia industri dan perguruan tinggi.
Dilantiknya Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang baru merupakan momentum untuk menjawab terpenuhinya pangan bergizi yang dapat mengurangi prevalensi stunting di Indonesia. Menurut data Survei Konsumsi Makanan Individu tahun 2014, anak Indonesia yang berusia 6 bulan ke atas mengonsumsi serealia sebesar 95%, angka ini sangat jauh dari konsumsi protein, buah, dan sayur. Untuk itu, pemerintah diharapkan mampu menyediakan pangan yang bergizi tinggi untuk menciptakan ketahanan pangan hingga ke tingkat keluarga yang merupakan aspek penting pencegahan stunting.
Selain itu, pemerintah diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan terutama di bidang peternakan untuk menyejahterakan masyarakat. Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, sektor ekonomi yang tumbuh adalah sektor agro, yaitu sebesar 2,51% sementara sektor lainnya sebesar -5,3%. Hal ini dapat diartikan bahwa agro merupakan penyelamat ekonomi nasional karena bersifat local based. Petani memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia dengan pengetahuan yang telah dipraktikkan selama bertahun-tahun untuk menghasilkan pangan berkualitas bagi masyarakat. (Humas Fapet/Nadia)