Secara genetik, ternak-ternak dari Indonesia atau negara subtropis memiiki keunggulan masing-masing. Namun, karena adanya berbagai faktor, kadang-kadang potensi unggul tidak dapat terealisasi. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk pengoptimalan atau peningkatan produktivitas atau kinerja produksinya melalui teknologi di bidang reproduksi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ir. Diah Tri Widayati, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM, dosen Fakultas Peternakan (Fapet) UGM dalam acara Obrolan Peternakan (OPERA) bertajuk “Aplikasi Teknologi Reproduksi dan Molekuler Genetik untuk Peningkatan Produktivitas Ternak, Rabu (29/9) secara daring.
“Ada banyak teknologi reproduksi mulai dari inseminasi buatan hingga yang terbaru. Berikut akan saya sampaikan beberapa teknologi yang dapat diaplikasikan untuk peningkatan kinerja produksi maupun reproduksi ternak,” ujar Diah.
Pertama, teknologi inseminasi buatan. Teknologi ini memaksimalkan penggunaan pejantan unggul, penyebaran materi genetik yang unggul, meningkatkan kecepatan dan efisiensi seleksi genetik, pengenalan materi genetik baru dengan mengimpor semen breed unggul, mengurangi biaya transportasi internasional, memungkinkan penggunaan semen beku bahkan setelah donornya mati, dan mengurangi risiko penyebaran penyakit menular seksual.
“Inseminasi buatan dilakukan dengan memanfaatkan semen dari breed eksotik dan digunakan dengan harapan dapat meningkatkan populasi dan produksi ternak lokal. Semen dari keturunan lokal juga dapat digunakan untuk tujuan ini,” ujar Diah.
Diah menjelaskan bahwa dalam inseminasi buatan, yang tidak bisa diabaikan adalah deteksi estrus. Deteksi estrus harus dilakukan secara tepat, karena inseminasi buatan harus dilakukan sewaktu ternak mengalami estrus.
“Bisa dilakukan dengan pengamatan visual. Ada teknologi lain, yaitu vaginal smear, sangat membantu mengamati hewan yang birahinya tidak muncul gejalanya,” ujar Diah.
Teknologi lain adalah inseminasi buatan dengan semen sexing. Manfaat dari teknologi ini adalah produksi anak sapi dengan jenis kelamin yang diinginkan, rasio jantan betina dapat diatur, produksi ternak jantan unggul, menurunkan biaya progeny testing program. Dari beberapa metode yang ada, sexing Flow- cytometryGledhill adalah yang paling efektif karena bisa diaplikasikan secara luas.
“Teknologi selanjutnya adalah In Vitro Fertilization (IVF), yaitu teknologi yang dapat digunakan untuk memproduksi embrio secara in vitro pada ternak secara massal. Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi evolusi teknologi untuk produksi embrio in vitro (IVEP) pada hewan ternak,” kata Diah.
Teknologi produksi in vitro tidak hanya membantu dalam produksi hewan dengan keunggulan genetik tinggi, tetapi juga menyediakan sumber embrio untuk keperluan bioteknologi (sexing embrio, kloning, Nuclear tarnsfer, transgenec, dan lain-lain).
“Teknologi IVF memungkinkan analisis potensi perkembangan embrio, termasuk pola ekspresi gen, epigenetic modifications dan cytogenetic disorders selama perkembangan. Pada hewan, IVF sangat menguntungkan digunakan terutama pada ternak-ternak yang siklus reproduksinya berhenti teruutama pada ternak-ternak yang superior,” jelas Diah.
Teknologi reproduksi lain yang dikenal adalah embrio transfer. Embrio transfer melibatkan pengambilan embrio dari betina dengan genetika superior dan menempatan embrio tersebut ke dalam saluran reproduksi betina lain (dari genetika rata-rata).
“Embrio transfer bertujuan untuk mendapatkan jumlah maksimum embrio unggul secara genetik dalam waktu minimum. Dengan dilaksanakan embrio transfer, dapat meningkatkan potensi genetik suatu ternak dalam waktu yang relatif singkat, dapat meningkatkan produksi susu pada peternakan sapi perah, dapat meningkatkan bobot sapih pada sapi dan sapi perah, dan sebagainya,” kata Diah.
Embrio transfer dimulai dengan pemilihan sapi donor. Sapi donor akan menyumbangkan embrio untuk dipindahkan. Sapi penerima (resipien) berfungsi sebagai induk pengganti (angkat) bagi anak sapi, tetapi tidak memberikan informasi genetik.
“Mutu genetik sapi resipien tidak sepenting sapi donor. Namun, sapi resipien harus mampu menjaga kebuntingannya hingga cukup bulan dan menghasilkan suplai susu yang cukup untuk pedetnya,” kata Diah.
Ir. Dyah Maharani, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., dosen Fapet UGM yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut mengatakan, ada beberapa teknologi molekuler yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produktivitas ternak.
“Genome editing adalah salah satu bentuk rekayasa genetik berupa penyisipan, penggantian, atau pembuangan DNA pada genom suatu organisme hidup dengan menggunakan enzim-enzim nuklease yang berperan untuk memotong dan menyambungnya,” ujar dosen yang akrab disapa Rani tersebut.
Teknologi lain adalah transgenic. Hewan transgenik merupakan hewan yang diinjeksi dengan DNA dari hewan lain baik dari spesies yang sama, atau berasal dari spesies berbeda yang dilakukan terhadap embrio sebelum hewan transgenik tersebut dilahirkan.
“Ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu pronuclear injection, sperm-mediated DNA transfer, embryonic stem cells, germ cell transplantation, dan nuclear transfer “Cloning”,” ujar Rani.
Aplikasi medis dari teknologi transgenic pada hewan adalah sebagai hewan model untuk mendeteksi dan mengobati penyakit manusia, membuat domba transgenik yang memiliki hormon yang berperan dalam pembentukan sel mamae dan memproduksi susu dimiliki oleh manusia sehingga susu yang dihasilkan mengandung hormon manusia, dan xenotransplants, yaitu transplantasi organ dari hewan ke tubuh manusia.
“Teknologi lain adalah cloning, yaitu suatu proses untuk memproduksi atau menggandakan sejumlah individu yang hasilnya secara genetik sama persis (identik) berasal dari induk yang sama, mempunyai susunan (jumlah dan gen) yang sama,” ujar Rani.
Rani menyebutkan, ada tiga macam kloning, yaitu kloning DNA rekombinan, kloning ini merupakan pemindahan sebagian rantai DNA dari suatu organisme pada satu element replikasi genetik, kloning reproduktif, yaitu teknologi yang digunakan untuk menghasilkan hewan yang sama, dan kloning terapeutik, yaitu suatu kloning untuk memproduksi embrio manusia sebagai bahan penelitian.
Teknologi lain yang dijelaskan oleh Rani yaitu functional gene or gene expression. Functional gene adalah studi tentang bagaimana suatu gen berekspresi dalam proses perkembangan suatu sel yang berperan dalam sifat tertentu.
“Gen yang terdiri dari sekuen DNA yang terangkai dalam nukleotida dapat mengalami suatu mutasi (perubahan susunan basa yang menyusun nukleotida tersebut). Peristiwa mutasi akan memengaruhi proses seluler dan berpengaruh terhadap ekspresi fenotip suatu individu. Mutasi pada sekuen DNA merupakan penanda genetik yang membedakan ekspresi sifat tertantu antar individu yang menjadi dasar seleksi individu,” jelas Rani.
Rani telah melaksanakan penelitian dalam upaya peningkatan mutu ternak menggunakan pendekatan molekuler (functional gene), baik pada sapi, babi, kambing, dan unggas. (Humas Fapet/Nadia)