Di tengah resesi ekonomi, sektor pertanian tumbuh 2,19% pada Q2-2020 dan 2,15% pada Q3-2020, tetapi subsektor peternakan mengalami kontraksi yaitu minus 1,84% pada Q2-2020 dan minus 0,16% pada Q3-2020 karena nilai tambah yang juga ikut tertekan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Jenderal TNI (Purn.). Dr. H. Moeldoko, SIP., yang juga Kepala Kantor Staf Presiden, dalam Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2020 yang diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan UGM pada Rabu, 16 Desember 2020 secara daring melalui Zoom.
“Persoalan daya beli masyarakat selama masa pandemi Covid-19 telah memukul subsektor peternakan. Meskipun begitu, para pelaku usaha peternakan telah berusaha keras untuk melakukan inovasi dalam segenap proses rantai nilai produk peternakan. Inovasi ini perlu dilakukan karena perubahan lingkungan strategis juga bergerak cepat,” ujar Moeldoko.
Kinerja ternak besar cukup bagus walau tidak terlalu spektakuler. Peningkatan produksi daging masih positif meski cukup lambat. Produksi daging sapi 2020 sekitar 422 ribu ton, sedangkan konsumsi diatas 500 ribu ton sehingga Indonesia harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Impor sapi hidup pada 2020 sekitar 770 ribu ekor (setara 122 ribu ton daging), plus daging beku lebih dari 100 ribu ton. Impor sapi hidup dilakukan untuk digemukkan perusahaan ternak sapi potong. Untuk menyiapkan SDM peternakan yang unggul, Indonesia telah dan sedang mengembangkan Sekolah Lapang Peternakan Rakyat (SLPR) untuk meningkatkan produktivitas ternak local khususnya yang skala kecil.
“Ada beberapa persoalan klasik pada agribisnis sapi potong di Indonesia yaitu jumlah peternak 4,6 juta rumah tangga dengan skala kepemilikan 2-3 ekor, sekitar 99% skala rumah tangga. Jarak melahirkan (calving) 18-21 bulan (ideal 14-16), angka kebuntingan 56% (ideal 70%), dan angka kematian pedet cukup tinggi 5-10%,” jelas Moeldoko.
Inseminasi buatan dengan semen Simental dan Limosin dapat menurunkan populasi ternak sapi lokal yang sebenarnya telah teradaptasi dengan lingkungan khas Indonesia, karena preferensi peternak lebih memilih pelihara sapi keturunan european breed (Simental, Limousin) tersebut, jika di banding memelihara sapi lokal.
Moeldoko menambahkan, persoalan lain yaitu kinerja produksi dan reproduktivitas yang belum memadai sebagai akibat dari relatif rendahnya adopsi teknologi reproduksi seperti Inseminasi Buatan (IB), teknologi pakan dan kesehatan hewan yang belum berkembang sepenuhnya bahkan belum menjangkau separuh (50%) dari total betina produktif.
Dari persoalan yang ada, strategi yang dapat diambil adalah terkait budidaya dan teknologinya agar peternak keluar dari situasi tersebut. Strategi kedua adalah strategi marketing dan tata niaga yang efektif dan efisien dengan memanfaatkan sarana-prasarana seperti teknologi digital (teknologi 4.0).
“Ada beberapa solusi yang dapat ditempuh, antara lain pembuatan pakan ternak sendiri dengan bekerja sama dengan perusahaan, penggunaan pupuk organik secara terukur, pengelolaan balai penelitian dan pengembangan dengan bekerja sama dengan perusahaan, pembuatan alat peternakan modern lokal agar harga terjangkau, dan pemetaan wilayah daerah peternakan sesuai kondisi geografis daerah sebagai sumber-sumber pengelolaan ternak, bersinergi antar-daerah,” kata Moeldoko.
Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA., IPU., ASEAN. Eng seusai acara mengatakan, simposium ini adalah simposium ke-3 yang dilaksanakan dalam rangka Dies Natalis ke-51 dengan tema “Inovasi dan Strategi Pengembangan Peternakan Terkini untuk Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”. Mengingat inovasi adalah jantungnya kemajuan suatu usaha dan industri, apapun jenisnya, tidak terkecuali pada industri peternakan.
Produksi pangan hasil ternak yang tidak cukup disuplai dari produksi dalam negeri (faktanya masih banyak yang diimpor), maka inovasi harus dilakukan dalam rangka mendukung peningkatan kapasitas produksi dalam negeri karena meningkatnya kebutuhan pangan hasil ternak. Hal ini sekaligus memberikan peluang bagi generasi muda untuk memasuki dunia industri peternakan, yang sebenarnya masih sangat prospektif.
“Jika peluang ini tidak diambil dengan dukungan teknologi dan inovasi, maka akan diambil orang lain dan kita akan semakin bergantung pada produk pangan impor. Ketergantungan pangan dan bahan pangan impor yang semakin tinggi akan sangat membahayakan kedaulatan bangsa dan negara kita,” ujar Ali.
Acara SIMANSTER ke-3 ini mengundang para narasumber praktisi seperti Ir. Tumiyono, MBA, CEO dan owner PT Widodo Makmur Group, Jakarta, yang memiliki pengalaman panjang di bidang usaha peternakan. Sebagai pelaku usaha berpengamalam, sensitivitas terhadap dinamika persoalan baik makro maupun mikro di Indonesia, termasuk bagaimana tetap survive dan berkembang dalam kondisi perekonomian sulit, telah dijelaskan. Narasumber lain adalah Pimpinan Kantor Wilayah BNI Yogyakarta, Bapak Moh. Hisyam, yang menyampaikan strategi dan pentingnya dukungan kelembagaan khususnya dari aspek permodalan. Ir. Nafiatul Umami, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM. ASEAN. Eng., dosen Peternakan UGM, menyampaikan perkembangan inovasi hijauan pakan ternak. Selain itu, dihadirkan pula narasumber dari Wageningen University, Belanda, yaitu Dr. Simon Oosting, yang membahas berbagai isu seperti pemanasan global dan sistem peternakan terpadu dalam mendukung pertanian berkelanjutan.
“Simposium diharapkan menginspirasi betapa prospek industri peternakan sangat luas dan sangat kompetitif sehingga mau tidak mau harus mengadopsi teknologi dan melakukan inovasi agar makin kompetitif dan produktif,” ujar Ali.