Penggunaan antibiotic and growth promoter (AGP) yang berlebih menjadi tantangan bagi dunia industri peternakan di Indonesia. AGP merangsang resistensi bakteri dan residu yang tersimpan dalam produk peternakan (daging, susu, telur) berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan resistensi bakteri pathogen. Food and Agriculture Organization mencatat penggunan antibiotik dalam pertanian mencapai 63.000—240.000 ton setiap tahun.
“Tantangan tersebut ditambah dengan daya beli masyarakat Indonesia yang masih rendah terhadap produk peternakan. Dari 260 juta penduduk Indonesia, hanya 30 juta penduduk yang berdaya beli tinggi,” ujar Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA., IPU ketika memberikan pembekalan dalam in-class training Work-Based Academy, Senin (1/10) di Fakultas Peternakan UGM.
Ali menambahkan, topografi Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau juga menyulitkan proses logistik dan distribusi. Permintaan akan pangan halal juga menjadi tantangan tersediri mengingat 87% penduduk Indonesia beragama Islam.
“Tantangan tersebut menjadi semakin berat dengan target konsumsi susu yang mencapai 19,5 liter/kapita dan konsumsi daging sebesar 3,5 kg/kapita pada 2025. Peningkatan konsumsi susu dan daging ini diperlukan karena konsumsi protein hewani berkorelasi positif terhadap kualitas SDM,” jelas Ali.
Pembangunan industri persusuan juga diperlukan kerja sama antara peternak, pebisnis, dan pemerintah. “Ada beberapa cara meningkatkan produksi susu di Indonesia, diantaranya ialah susu yang berasal dari peternak harus memenuhi standar proses pengolahan, peningkatan kompetensi peternak, revitalisasi koperasi susu, peningkatan integrasi antarstakeholder, dan sebagainya,” ujar Ali.
“Indonesia memiliki berbagai ternak lokal seperti ayam, itik, domba, kambing, dan sapi yang dapat dikembangkan. Bahkan, produk ternak merupakan penyumbang yang terus meningkat bagi sektor pertanian,” ujar Ali. Pertumbuhan produk ternak per tahun (2010-2014) sebesar 4,6%, angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan kontribusi produk pertanian secara keseluruhan yang hanya mencapai 3,5% dalam kurun waktu yang sama.
Namun demikian, peternakan yang dikelola secara domestik dan sederhana tidak akan mampu memenuhi kebutuhan nasional akibat produktivitas yang rendah. Menurut Ali, pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan di masa mendatang ialah peternakan yang adaptif terhadap kondisi tropis, perkembangan teknologi reproduksi, sistem peternakan terpadu, impor indukan, dan pengaplikasian agriculture precision dengan teknologi industry 4.0.
Menurut Ali, Indonesia beruntung memiliki dukungan kekayaan alam yang melimpah yang menjadikannya salah satu negara paling kompetitif di dunia. Hal tersebut memberikan peluang bagi berkembangnya industri peternakan. Lebih dari itu, bidang peternakan memiliki andil besar dalam pengembangan perekonomian bangsa. (Humas Fapet/Nadia)