Bertambahnya penduduk Indonesia dan meningkatnya arus urbanisasi menjadi 6,6% pada 2035 berpotensi mengurangi jumlah produsen pangan di perdesaan. Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi berkembangnya industri peternakan di Indonesia mengingat kebutuhan pangan di dunia akan meningkat sebesar 60% karena pertambahan penduduk.
“Jumlah populasi sapi dan kerbau selama kurun waktu 2010—2014 terus mengalami kenaikan. Meskipun demikian, masih ada tantangan-tantangan dalam pengembangan sapi dan kerbau,” ujar Ismatullah Salim, S.Pt., selaku Kasubbag Akuntansi, Verifikasi dan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan (TLHP), Bagian Keuangan Setditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI pada saat memberikan pembekalan in-class training kepada peserta Work-Based Academy, Jumat (5/10) di Fakultas Peternakan UGM.
Salim menuturkan, tantangan-tantangan yang dimaksud ialah skala kepemilikan ternak yang kecil dan lemah, terpusatnya populasi di Jawa, perkembangan bisnis yang lebih ke arah hilir (penggemukan dan impor daging), rendahnya produksi susu segar, dan sebagainya.
“Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah memiliki kebijakan berupa pembenahan regulasi, infrastruktur, produksi, investasi dan hilirisasi, tata niaga domestik, dan pengendalian impor dan penguatan ekspor yang pada akhirnya menuju pada kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Fokusnya pada pangan strategis dan sentra/kawasan,” ujar Salim. Pada 2045, Indonesia ditargetkan menjadi lumbung pangan Asia dengan populasi sebanyak 41.745.441 ekor, kebutuhan 1.151.698 ton, produksi lokal 1.122 ribu ton, dan potensi ekspor 450.049 ekor (85.509 ton).
Salim menambahkan, program studi ilmu peternakan di suatu perguruan tinggi berperan penting dalam mengembangkan industri peternakan. Namun, saat ini tenaga kerja peternakan Indonesia masih berpendidikan rendah, berusia 50 tahun ke atas, dan belum memiliki jiwa kewirausahaan. “Untuk itu, perguruan tinggi berperan dalam menjadikan subsektor peternakan menjadi sektor yang menarik bagi generasi muda dan para wirausaha,” ujar Salim.
Menurut Salim, sistem pendidikan, SDM (dosen dan mahasiswa), dan infrastruktur merupakan komponen penting dalam menghasilkan sarjana peternakan yang akan menyukseskan program pembangunan peternakan.
“Untuk menjadi sarjana peternakan yang kompeten, diperlukan peningkatan kualifikasi calon mahasiswa, reorientasi kurikulum, peningkatan jiwa kewirausahaan, peningkatan nilai kesarjanaan (etika, kepemimpinan, dan kemampuan manajerial), dan peningkatan peran sebagai motivator pembangunan. Kesemuanya kemudian dicocokkan dengan dunia usaha/dunia kerja,” ujar Salim. (Humas Fapet/Nadia)