Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membuka kuliah gratis bagi para peternak. Peminatnya mencapai 500 orang lebih. Setiap akhir pekan mereka berkumpul untuk menimba ilmu dari para profesor dan dosen yang ahli di bidang peternakan.
Sekitar jam 08.00 pagi pada Sabtu (14/10), puluhan peserta kuliah gratis sudah berkumpul di auditorium Fakultas Peternakan UGM. Satu per satu para peserta masuk ke aula auditorium berkapasitas 200 orang. Separuh lebih peserta dalam auditorium berusia di atas 30-an tahun.
Ismi Silvia (48) adalah salah satu peserta kuliah gratis dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Dia duduk di baris kedua dari depan. “Saya mengambil program sapi perah dan sapi potong,” kata Ismi pada wartawan Yaya Ulya yang melaporkan untuk BBC Indonesia.
Di Payakumbuh, Ismi menjadi sekretaris kelompok tani Pemuda Setia. Kelompoknya mendapat bantuan sapi dari pemerintah sebanyak 25 ekor. Namun Ismi yang berlatarbelakang pendidikan sastra Indonesia, dan teman-teman di Pemuda Setia tidak terlalu paham soal peternakan.
“Makanya pas saya tahu ada pengumuman kuliah gratis soal pertanian, saya ikut. Karena saya perlu belajar mengembangkan ternak sapi baik potong maupun perah,” ujarnya.
Sebenarnya pemerintah sudah beberapa kali memberikan bantuan sapi atau kambing kepada kelompok tani di Payakumbuh. Namun, karena minimnya pengetahuan soal peternakan, tak banyak kelompok tani yang bisa bertahan.
“Sampai sekarang belum ada yang berhasil. Banyak ternak yang mati atau dijual,” kata Ismi lagi.
Mendapat kesempatan untuk lolos menjadi peserta kuliah gratis di Fakultas Peternakan UGM tak dia sia-siakan oleh Ismi yang ingin belajar soal pemeliharaan, manajemen, sampai cara memasarkan ternak dengan baik.
Ismi mencatat dengan serius ketika Profesor Ristianto Utomo menyampaikan materi tentang pakan ternak. Saat itu, Ristianto menerangkan cara pemanfaatan berbagai produk lokal asli daerah yang bisa menjadi campuran pakan ternak, seperti kulit buah kakao.
Pohon Kakao, menurut Ismi, memang sangat banyak dijumpai di Payakumbuh. Ismi langsung mengacungkan jarinya untuk bertanya bagaimana cara terbaik mengolah kulit buah kakao dan bagaimana pengaruhnya terhadap ternak.
“Dan saya baru tahu, kalau kulit buah kakao lebih baik difermentasi dulu daripada mentahan, karena dapat menetralisir keasaman, jadi lebih baik untuk produksi susu. Kalau di sana (Payakumbuh), memberi makan sapi dengan KBK mentah,” kata Ismi yang merasa senang mendapat pengetahuan baru.
Tak semudah minum susu
Peserta lainnya yang duduk di bangku baris kedua dari depan adalah Ari Yuliani Pramono (40). Tangannya memegang bolpoin dan kertas saat kepala Laboratorium Ilmu Ternak Perah dan Industri Persusuan, Dr. Ir. Adiarto, M.Sc, menyampaikan materi soal pemeliharaan dan perkandangan sapi perah.
Dalam mata kuliah tersebut dijelaskan bahwa sapi perah, memang susah perawatannya, terutama ketika memasuki siklus biologis.
Setelah beranak, sapi induk harus beranak lagi dalam siklus 12 bulan. Anaknya yang betina, harus menjadi induk baru dalam masa 24 bulan. Peternak pun harus memahami berbagai siklus ini karena bisa memengaruhi keluarnya susu perahan.
“Siklusnya harus tepat pada waktunya,” kata Adiarto.
Penjelasan itu memantik pertanyaan dari sejumlah peserta, termasuk Yuliani yang sedari tadi ikut mendengarkan dan kini mendapat kesempatan pertama untuk bertanya.
“Saya punya 1 ekor sapi potong dan 4 ekor sapi perah. Tapi saya tidak mempunyai kompetensi dalam memelihara sapi dan tidak tahu jenis-jenis sapi perah atau sapi dan potong dan saya juga tidak tahu sapi saya keturunan jenis apa. Begini pak, setelah setelah sapi saya beranak, susunya malah tidak keluar. Itu bagaimana? Padahal dulu rata-rata bisa 10 liter per hari,” tanya Yuliani, yang berharap betul jawaban Adiarto.
Kendala Yuliani ternyata memang sering dialami para peternak yang masih awam. Biasanya, sapi perah yang tidak mengeluarkan susu setelah melahirkan karena kesalahan siklus biologis.
“Waktunya kawin, tidak kawin. Waktunya tidak kawin, malah dikawinkan,” kata Adiarto, memberi salah satu kemungkinan jawaban dari masalah yang dihadapi Yuliani.
Yuliani pun ingat, sapinya yang lahir pada 2014, seharusnya sudah masuk siklus menjadi sapi indukan pada 2016. Namun baru dilakukannya pada 2017 kemarin.
“Siklusnya tidak teratur. Tenyata itu penyebabnya. Saya baru sadar pas tadi dijelaskan,” kata Yuliani.
Melebihi kuota
Kuliah gratis bertema Bagimu Petani Kami Mengabdi adalah yang pertama kali diadakan di Fakultas Peternakan UGM sebagai rangkaian peringatan ulang tahun fakultas tersebut.
Awalnya panitia tidak menyangka kalau peserta yang mendaftar sampai ratusan orang, melebihi target.
“Waktu kita mencetuskan program ini, kita mentarget minimal 20 orang baru dilaksanakan dan maksimal kita memberi angka 50 orang saja,” kata Margiyono, panitia kuliah gratis.
Sampai sekarang, email pendaftaran yang masuk ke panitia hampir mencapai 600 orang. Padahal, ruang auditorium hanya memiliki kapasitas 200 orang saja.
“Yang lainnya masuk daftar tunggu di periode selanjutnya,” katanya.
Sayangnya, meski auditorium memiliki kapasitas 200 orang, yang datang hanya 75 persennya atau sekitar 165 orang saja. Itu terlihat dari bangku bagian belakang ruang auditorium yang masih kosong.
Peserta kuliah gratis bisa mengikuti kuliah sebanyak 16 kali pertemuan. Seperti Yuliani dan Ismi, mereka akan mengambil semua materi dan mengikuti pertemuan sampai selesai, yakni sampai 27 Januari 2018.
Seluruh peserta yang mendaftar berasal dari berbagai penjuru nusantara. Ada dari Payakumbuh, Lampung, Cirebon, Tulung Agung, Maluku, Madura, Magelang, Temanggung, dan beberapa daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Kami tidak menyediakan akomodasi dan konsumsi, semua ditanggung sendiri peserta,” jelas Margiyono.
Panitia tidak menyediakan makalah yang disampaikan pemateri, meski kemudian mengirimkannya lewat email usai pertemuan.
Namun Yuliani dan teman-temannya tetap sibuk mencatat dan memfoto setiap kali pengajar mengganti slide makalah yang ada di layar, untuk mengingat materi yang disampaikan para pakar hewan ternak.
“Saya ingin dapat pencerahan ilmu dan bisa langsung survei ke lokasi,” kata Yuliani yang tinggal di Magelang, sekitar 1,5 jam dari Yogyakarta. “Semoga ternak sapi perah dan potong yang saya miliki bisa lebih baik,” imbuhnya.