Sorghum, atau yang di Jawa lebih dikenal dengan sebutan “Cantel”, merupakan hijauan yang menjanjikan untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia. Sorghum merupakan hijauan yang mudah beradaptasi di lingkungan tropis dan sangat potensial di musim hujan.
“Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga perlu ditingkatkan, termasuk pakan ternak. Di tengah terbatasnya lahan hijauan, penting untuk mengembangkan varietas hijauan dengan produksi yang tinggi dan dapat tumbuh di lahan suboptimal,” ujar Dr. Ir. Bambang Suhartanto, DEA., IPM saat mempresentasikan hasil penelitiannya dalam The 8th International Seminar on Tropical Animal Production, Selasa (24/9) di Royal Ambarrukmo Hotel.
Bambang yang merupakan pakar hijauan ternak di Fakultas Peternakan (Fapet) UGM mengatakan, Sorghum masuk ke dalam family tanaman rumput yang tumbuh di beberapa daerah, antara lain Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di NTB dan NTT, Sorghum ditanam di lahan yang tidak begitu subur tempat padi dan jagung tidak dapat tumbuh.
“Sorghum biasanya ditanam dengan sistem tumpang sari pada musim kemarau. Akar Sorghum dapat mencapai lapisan subsoil untuk menyerap air and nutrisi, sementara itu daunnya mengandung lapisan lilin untuk mengurangi penguapan. Sorgum Merah dan Numbu merupakan jenis yang paling baik tetapi bibitnya sulit didapatkan,” papar Dosen di Laboratorium Hijauan dan Makanan Ternak Pastura Fapet UGM tersebut.
Sorghum dapat dipanen sebanyak 2 hingga 3 kali. Hal ini berarti dapat memangkas upah tenaga kerja, lama waktu penanaman, dan benih yang dibutuhkan.
“Sorghum Brown Midrib Resistance (BMR) adalah mutasi dari tanaman sorghum menggunakan iradiasi gamma yang memiliki kandungan lignin yang lebih rendah dan lebih mudah dicerna,” ujar Bambang. Sorghum BMR ditandai dengan tulang daun berwarna cokelat.
Meskipun begitu, Bambang menambahkan, Sorghum memiliki kelemahan, yaitu mengandung zat antinutrisi dalam bentuk asam prusik. Asam prusik umumnya ditemukan pada tanaman yang pertumbuhannya terganggu karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung, misalnya kekeringan.
“Sebagai solusi, kandungan asam prusik dapat dikurangi dengan cara membuat Sorghum menjadi silase,” kata Bambang. (Humas Fapet/Nadia)