Teknologi reproduksi merupakan salah satu upaya mengembangkan ternak lokal Indonesia agar memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi peternak. Inseminasi buatan (IB), multiple ovulation embryo transfer, dan fertilisasi in vitro merupakan teknologi reproduksi yang menarik untuk dikembangkan karena menawarkan berbagai keunggulan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. Ir. Diah Tri Widayati, MP., Ph.D., IPM, dosen Fakultas Peternakan UGM dalam pidato pengukuhan guru besar yang dilaksanakan pada Selasa, 29 Maret 2022 di Balai Senat UGM.
Diah mengungkapkan, teknologi inseminasi buatan memiliki beberapa keuntungan, yaitu peningkatan efisiensi pejantan, peningkatan mutu genetik keturunannya, efisiensi biaya, dan sebagai pencegahan penyakit. Inseminasi buatan dengan semen sexing merupakan salah satu metode inseminasi yang memisahkan antara spermatozoa X dan Y untuk menentukan jenis kelamin ternak. Inseminasi ini telah lama diaplikasikan pada peternakan pembibitan komersial dengan tujuan efisiensi usaha.
Metode inseminasi lain yang diteliti oleh Diah ialah multiple ovulation embryo transfer (MOET), yaitu salah satu bentuk teknologi reproduksi di mana embrio yang baru terbentuk sebelum implantasi dikeluarkan dari saluran reproduksi betina dan dipindahkan ke saluran reproduksi ternak betina lain dari spesies yang sama. Metode ini menawarkan beberapa keuntungan, yaitu meningkatkan potensi genetik suatu ternak dalam waktu yang relatif singkat, dapat meningkatkan produksi susu pada peternakan sapi perah, dan dapat meningkatkan bobot sapih pada sapi potong.
Metode MOET dapat dilakukan pada berbagai komoditas ternak, tetapi banyak dilakukan pada sapi karena meningkatkan produktivitas keturunan secara signifikan. Seekor betina unggul yang disuperovulasi dan diinseminasi dengan semen dari pejantan unggul berpotensi menghasilkan 40 ekor pedet setiap tahun, sedangkan dengan inseminasi buatan, seekor betina hanya mampu melahirkan anak 1 ekor setiap tahun.
Diah menambahkan, faktor utama dalam keberhasilan program transfer embrio adalah kualitas dan pemilihan donor. Ternak donor harus memiliki nilai genetik dan daya jual yang unggul agar dapat menutup biaya transfer embrio. Selain itu, dengan mempertimbangkan nilai genetik dan nilai potensial ekonomi turunannya (pedet).
Sementara itu, fertilisasi in vitro atau embrio in vitro (IVEP) merupakan teknik generasi ketiga di bidang teknologi reproduksi. Produksi embrio in vitro dapat digunakan untuk memproduksi embrio dengan genetik unggul secara masal, menyediakan sumber embrio berbiaya rendah untuk penelitian dasar tentang perkembangan biologi dan fisiologi, penerapan bioteknologi baru seperti nuclear transfer, dan produksi hewan transgenik dan penelitian sel punca.
Teknologi IVEP menjanjikan berbagai keunggulan. Pertama, teknologi ini dapat menghasilkan embrio dalam jumlah banyak dan jika ditransfer, akan dihasilkan kebuntingan yang lebih tinggi per unit waktu. 14 Kedua, dapat diterapkan pada ternak yang gagal merespons perlakuan superovulasi. Ketiga, dapat digunakan untuk menyimpan potensi genetic ternak yang terkendala untuk produksi embrio secara konvensional. Keempat, semen dari pejantan yang berbeda dapat digunakan untuk membuahi oosit dari ovarium seekor betina dan berpotensi menjadi embrio. Kelima, oosit untuk IVEP dapat diperoleh dari ovarium donor hidup melalui ovum pick up (OPU) atau dari ovarium yang merupakan hasil samping rumah potong hewan.
Sampai saat ini hanya IB yang telah diterapkan secara luas di Indonesia pada sapi potong dan sapi perah. Hal ini disebabkan masyarakat telah menyadari arti dan manfaat IB untuk meningkatkan produktivitas ternaknya, yaitu untuk menghasilkan pedet yang kualitas genetiknya lebih baik daripada induknya serta untuk efisiensi reproduksi. Sementara itu, MOET dan IVF masih dalam tahap pengembangan dan penelitian sehingga belum diterapkan secara luas di masyarakat.
Dari penelitian yang telah dilakukannya selama 23 tahun, Diah mengungkapkan bahwa produksi embrio secara in vitro dapat diterapkan di Indonesia meskipun ada beberapa keterbatasan, meliputi sumber oosit, keterbatasan medium untuk kultur embrio, dan perangkat inkubator dengan oksigen yang rendah.
Namun, Diah yakin apabila keterbatasan tersebut dapat diatasi, dapat dihasilkan embrio dalam jumlah banyak dan dapat disebarkan pada masyarakat melalui program transfer embrio maupun untuk penelitian. (Humas/Nadia)