
Pengolahan dan pemanfaatan limbah merupakan wujud tanggung jawab industri peternakan untuk menjalankan bisnis yang tidak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Melihat hal tersebut maka sejumlah peneliti dari UGM melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa bio-slurry sebagai limbah cair hasil produksi biogas (anaerobic digested manure wastewater atau bio-slurry) dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai media kultivasi mikroalga Euglena sp. IDN 22 yang berpotensi menjadi raw material dalam berbagai sektor industri.
Tim yang diketuai oleh Guru Besar Fakultas Peternakan (Fapet) UGM, Prof. Ir. Ambar Pertiwiningrum, M.Si., Ph.D., IPU., ASEAN Eng., ini terdiri dari beberapa anggota, seperti Prof. Ir. Nanung Agus Fitriyanto, S.Pt., M.Sc., Ph.D., IPM (Guru Besar Fapet UGM), Dhomas Indiwara Prana Jhouhanggir, S.Pt (Mahasiswa Program Doktor Fapet) dan Dr. Eko Agus Suyono, S.Si., M.App.Sc (Dosen dan Peneliti, Fakultas Biologi UGM). Penelitian yang dilakukan telah dimuat di Journal of Ecological Engineering, 2025.
Ambar mengatakan integrasi pemanfaatan bio-slurry dan kultivasi mikroalga menawarkan dua keuntungan sekaligus, yaitu ekonomi dan lingkungan. Dari sisi ekonomi, bio-slurry mengandung nutrien penting seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang dibutuhkan mikroalga. Hal ini memungkinkan petani untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kebutuhan penggunaan pupuk sintetis, sehingga menurunkan biaya operasional dalam budi daya mikroalga.
Dari sisi lingkungan, pemanfaatan bio-slurry dapat mengurangi beban cemaran limbah peternakan. Limbah cair produksi biogas tersebut mengandung nutrient seperti nitrogen dan fosfat, yang dapat menyebabkan eutrofikasi jika dibuang ke badan air secara langsung tanpa pengolahan.
“Dengan mengolahnya menjadi media kultivasi mikroalga, residu limbah berkurang secara signifikan, mengurangi emisi gas rumah kaca seperti metana (CH₄) dan nitrous oxide (N₂O), serta mendukung prinsip ekonomi sirkular dan keberlanjutan lingkungan,”tutur Ambar, Senin (30/6).
Ia menambahkan pengelolaan limbah menggunakan pendekatan ini dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak memerlukan penambahan bahan kimia sintetis selama proses pengolahan. Bio-slurry digunakan dalam bentuk alaminya sebagai media untuk kultivasi mikroalga. Pendekatan ini menghindari potensi pencemaran sekunder yang biasanya ditimbulkan oleh limbah bahan kimia pengolahan, serta menjaga integritas ekosistem sekitar.
“Selain itu, penggunaan mikroalga dalam sistem ini juga berkontribusi pada penyerapan karbon dioksida (CO₂) dan penyisihan nutrien berlebih, seperti nitrogen dan fosfat, yang dapat menyebabkan eutrofikasi jika dibuang ke badan air,”katanya.
Ambar mengakui produksi biomassa mikroalga saat ini belum umum dilakukan oleh petani atau kelompok tani secara luas di Indonesia. Beberapa inisiatif memang telah dimulai, terutama di kalangan akademisi, startup bioteknologi, dan proyek berbasis pemberdayaan masyarakat, namun skalanya masih terbatas. Kendala utama yang ditemui adalah kurangnya informasi yang diperoleh kelompok tani terkait teknis dan potensi kultivasi mikroalga, ditambah akses pasar penjualan yang masih terbatas.
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, kata Ambar, tim sedang melaksanakan riset lanjutan untuk menentukan komposisi bio-slurry yang paling optimal berdasarkan kandungan nutriennya, terutama rasio karbon terhadap nitrogen (C/N), yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan produktivitas mikroalga.
Sumber: Tim
Editor: Satria