Alfalfa Tropik dan Peluang Kerja Sama Internasional

Dosen Fakultas Peternakan (Fapet) UGM, Prof. Dr. Ir. Bambang Suwignyo, S.Pt., M.P., IPM., ASEAN Eng., menghadiri undangan The 62nd Philippine Society of Animal Science (PSAS) Scientific Meeting and Annual Convention yang diselenggarakan pada 21–24 Oktober 2025 di Subic Bay Travelers Hotel and Events, Subic Freeport Zone, Zambales, Filipina, dengan dukungan Travel Grand SEARCA.

Tema besar yang diusung dalam seminar tahunan ini adalah “Transforming Animal Industry: The Impact of Science and Technology on Business and Sustainable Development.”

Kegiatan ini menjadi ajang tahunan yang mempertemukan para pemangku kepentingan utama industri peternakan (mulai dari akademisi, lembaga penelitian, lembaga pendanaan, pemerintah nasional dan lokal, perusahaan swasta, hingga peternak) untuk mendiskusikan berbagai tantangan dan peluang masa depan industri peternakan di Filipina.

Dalam forum tersebut, Prof. Bambang diundang secara khusus sebagai resource speaker dengan topik “Production and Utilization of Tropical Alfalfa in Livestock and Poultry Feeding.” Ia hadir sebagai pakar sekaligus inventor alfalfa tropik yang telah diakui secara nasional dan internasional.

Tanaman Alfalfa (Medicago sativa) merupakan legum yang dikenal luas sebagai pakan bernutrisi tinggi bagi kuda, ternak potong, dan ternak perah. Di dunia, alfalfa dijuluki “queen of forage” atau ratunya hijauan pakan ternak.

Secara historis, tanaman ini berasal dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, kemudian dibawa bangsa Moor ke Spanyol pada tahun 711 M. Dari sana, alfalfa menyebar ke Amerika Selatan melalui ekspedisi pasukan Spanyol pada abad ke-16. Dalam bahasa Arab, tanaman ini disebut Al-Fisfisa, yang dalam bahasa Spanyol berubah menjadi alfalfa, bermakna “bapak segala makanan.” Kini, di Eropa, alfalfa juga dikenal dengan nama Lucerne.

 

Dari Indonesia untuk Dunia: Alfalfa Tropik Hasil Karya Anak Bangsa

Sejak tahun 2010, Prof. Bambang Suwignyo meneliti dan mengembangkan alfalfa tropik yang dapat tumbuh di wilayah beriklim panas dan lembap.

Hasil riset panjang tersebut akhirnya diakui secara resmi oleh pemerintah melalui sertifikat plasma nutfah dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian RI) pada tahun 2021, dengan nama Kacang Ratu BW (Medicago sativa cv. Kacang Ratu BW).

Berbagai hasil penelitian alfalfa tropik telah dipublikasikan di jurnal ilmiah maupun diseminasi melalui media sosial, menjadikannya dikenal luas hingga ke luar negeri, termasuk Filipina. Beberapa peneliti di Filipina, khususnya yang berfokus pada ternak perah, bahkan telah menjalin komunikasi dengan Prof. Bambang sejak 2019 untuk menjajaki potensi kolaborasi riset. Rencana tersebut sempat tertunda akibat pandemi Covid-19, namun akhirnya terealisasi pada forum PSAS tahun ini.

 

Hasil Riset: Bukti Keunggulan Alfalfa Tropik

Dalam paparannya di PSAS, Bambang Suwignyo menyampaikan berbagai temuan riset yang mengonfirmasi status alfalfa sebagai queen of forage.
Uji coba terhadap kambing perah menunjukkan bahwa alfalfa tropik memberikan hasil yang kompetitif dibandingkan legum populer lain seperti Indigofera dan Kaliandra.
Penelitian juga dilakukan pada ayam petelur dan itik, di mana penambahan alfalfa sebagai bahan pakan fungsional mampu menurunkan kadar kolesterol pada daging, darah, dan hati dibandingkan pakan komersial biasa.

“Ini sekaligus mematahkan mitos lama bahwa alfalfa hanya bisa tumbuh di daerah subtropis atau membutuhkan hari panjang. Fakta menunjukkan, dengan adaptasi genetik dan manajemen budi daya yang tepat, alfalfa dapat berkembang optimal di daerah tropik seperti Indonesia,”kata Bambang, Jumat (25/10).

Di luar sesi seminar, Prof. Bambang juga menerima beberapa ajakan kerja sama riset dan pengembangan alfalfa tropik dari empat institusi di Filipina, yaitu: University of Science and Technology of Southern Philippines (Apolinario Babia Gonzaga), USTP Claveria, Mindanao (Imelda Hebron), Institute of Animal Science, College of Agriculture, University of the Philippines Los Baños (Arnel del Nario) dan Faculty of Agriculture, University of Southern Mindanao (Jurhamid C. Iman)

Jika kerja sama ini terealisasi, maka langkah tersebut tidak hanya memperluas jejaring penelitian, tetapi juga menandai babak baru bahwa alfalfa tropik karya Indonesia siap mendunia.
Sebagaimana semboyan yang dipegang Prof. Bambang, “Non scholae sed vitae discimus” yakni kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk kehidupan.

 

Sumber: Bambang Suwignyo

Editor: Satria

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses