
Sapi Belgian Blue, yang berasal dari Belgia, dikenal memiliki otot ganda (double muscle) akibat mutasi pada gen Myostatin (MSTN). Melihat potensinya sebagai penghasil daging unggul, sejak tahun 2014 Fakultas Peternakan (Fapet) UGM telah mengembangkan persilangan antara sapi Belgian Blue dengan sapi lokal, yang kemudian dilabeli sebagai Sapi GAMA. Langkah ini dilakukan bekerja sama dengan PT Widodo Makmur Perkasa dan University of Liège. Selain itu, pada tahun 2018, Kementerian Pertanian juga mengintroduksi sapi Belgian Blue melalui teknologi transfer embrio dan inseminasi buatan, yang hingga kini telah menghasilkan berbagai jenis sapi persilangan.
Ir. Tristianto Nugroho, S.Pt., M.Sc., IPP., peneliti dari Fapet UGM, menyoroti pentingnya aspek adaptasi lingkungan bagi sapi hasil persilangan ini. “Sapi Belgian Blue berasal dari daerah dengan iklim dingin. Ditambah dengan organ vitalnya yang relatif kecil, kondisi tersebut dapat menyebabkan sapi lebih rentan terhadap heat stress atau stres panas di lingkungan tropis Indonesia,” ungkap Tristianto, Senin (16/6).
Berdasarkan hal tersebut, Tristianto melakukan penelitian untuk memetakan tingkah laku sapi hasil persilangan Belgian Blue dengan sapi Peranakan Ongole. Penelitian ini dilakukan saat puncak musim kemarau, dengan sapi ditempatkan pada kandang bertipe open loose house, di mana sapi dibiarkan bergerak bebas tanpa atap pelindung. “Pengamatan dilakukan selama 2×24 jam dan diulang pada dua minggu berbeda untuk memperoleh gambaran utuh mengenai tingkah lakunya,” tambahnya.
Penelitian ini telah dipublikasikan di Journal of Animal Behaviour and Biometeorology, jurnal internasional kategori Q2 dengan impact factor 1,8. Hasilnya, tim peneliti menemukan 73 jenis tingkah laku yang diklasifikasikan ke dalam tingkah laku postural, lokomosi dan aktivitas, serta tingkah laku sosial. Ditemukan pula bahwa sapi menghabiskan waktu yang relatif seimbang antara berdiri dan berbaring. Menariknya, 42% dari waktu berdiri dihabiskan untuk aktivitas makan, di mana sapi jantan tercatat lebih sering makan namun dengan durasi lebih pendek dibandingkan sapi betina.
Lebih lanjut, pola perilaku harian menunjukkan bahwa sapi umumnya berdiri dari pukul 05.00 hingga 17.00, dan mulai berbaring hampir sepanjang malam mulai pukul 22.00. Akan tetapi, pada pukul 10.00–11.00, saat suhu udara mencapai puncaknya, sapi beberapa kali terlihat berpindah dari posisi berbaring ke berdiri. “Setelah makan pagi, sapi biasanya akan berbaring untuk mengunyah kembali makanannya. Namun, karena kondisi lantai kandang yang panas, sapi bisa merasa tidak nyaman dan kembali berdiri untuk mencari tempat yang lebih sejuk untuk berbaring,” jelasnya.
Tristianto menyatakan bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam manajemen pemeliharaan sapi persilangan Belgian Blue, khususnya dalam aspek desain kandang yang sesuai dengan iklim tropis. Ia mengatakan bahwa penelitian ini belum selesai dan masih memerlukan pengamatan lanjutan. “Saat ini penelitian sedang dilanjutkan untuk menganalisis lebih dalam tiap jenis tingkah laku, termasuk membandingkan dengan sapi lokal,” tutupnya.
Di sisi lain, Prof. Ir. Panjono, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., anggota sekaligus mantan Ketua Center of Excellence (CoE) Sapi GAMA, menyambut baik penelitian ini. “Tingkah laku ternak menjadi salah satu indikator yang baik untuk menilai daya adaptasi terhadap lingkungan,” ungkapnya.
Aspek adaptasi merupakan salah satu pertimbangan utama dalam pengembangan sapi ini. Sapi Belgian Blue memiliki produktivitas daging yang tinggi, tetapi berasal dari daerah beriklim dingin, sementara sapi lokal memiliki produktivitas lebih rendah tetapi telah beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Persilangan dilakukan agar komposisi genetik Belgian Blue tidak 100%, dan diharapkan menghasilkan efek komplementer (penggabungan sifat-sifat unggul dari kedua tetua) serta efek heterosis (performa anak lebih baik daripada rata-rata tetuanya). “Dengan adanya penelitian-penelitian ini, harapannya Sapi GAMA dapat segera memiliki performa yang stabil sehingga dapat diterima dan dikembangkan di masyarakat,” tutup Prof. Panjono.
Sumber: Tristianto
Editor: Satria