
Pondok Pesantren An-Nur Bantul, salah satu pesantren terbesar di Indonesia, melangkah maju dalam mewujudkan konsep pesantren mandiri dan berkelanjutan. Bersama tim pengabdian masyarakat dari Fakultas Peternakan (Fapet) UGM yang diketuai Prof. Nafiatul Umami dari Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura, Departemen Nutrisi Makanan Ternak, berkolaborasi untuk menginisiasi program integrasi pengolahan limbah maggot dan sampah organik untuk pengembangan pastura unggas.
Program pengabdiam kepada masyrakat yang bertajuk “Pemberdayaan Pesantren Melalui Integrasi Pengolahan Limbah Maggot dan Sampah untuk Pengembangan Pastura Unggas” ini dilatarbelakangi oleh volume sampah yang sangat besar yang dihasilkan oleh pesantren. Dengan 2.500 santri, Pondok Pesantren An-Nur menghasilkan sekitar 500 kg sampah setiap hari, dimana 60% di antaranya atau setara dengan 300 kg merupakan sampah organik yang berasal dari dapur dan sisa makanan.
“Selama ini, sampah organik sudah terkelola untuk menjadi pupuk, karena kalau tidak terkelola justru dapat menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan, namun belum optimal, sehingga menjadi beban tersendiri. Melalui program ini, kami ingin mengubah beban tersebut menjadi sebuah berkah dan sumber daya yang memiliki nilai ekonomi,” ujar Anis Sulkhan Fadhil, M.Pd, selaku salah satu pengurus Pondok Pesantren, Selasa (23/9).
Prof. Bambang Suhartanto, selaku anggota tim pengabdian, menjelaskan bahwa program ini dirancang sebagai sebuah siklus yang berkelanjutan. “Sampah organik diolah oleh maggot menjadi kasgot yang sangat subur. Kasgot ini kami gunakan untuk menyuburkan tanah dan menanam pastura. Rumput dari pastura kemudian akan menjadi pakan bernutrisi tinggi untuk unggas yang dipelihara pesantren, seperti ayam dan bebek. Ini adalah model sirkular ekonomi yang sederhana namun powerful, langsung diterapkan di lingkungan pesantren,” paparnya.
Keberhasilan program percontohan ini diharapkan tidak hanya mampu mengurangi timbunan sampah di pesantren hingga lebih dari 60%, tetapi juga dapat mengurangi biaya operasional pembelian pakan unggas, menghasilkan produk unggas yang lebih sehat dan alami, menciptakan lingkungan pesantren yang lebih hijau dan asri serta memberikan keterampilan baru yang aplikatif dan entrepreneural kepada para santri.
Ke depan, diharapkan model integrasi maggot dan pastura ini dapat menjadi prototipe yang dapat direplikasi oleh pesantren-pesantren lainnya di seluruh Indonesia, mendorong lahirnya pesantren-pesantren yang mandiri, berwawasan lingkungan, dan berkontribusi positif bagi ketahanan pangan nasional.
Sumber: Miftah
Editor: Satria